Hukum Shalat Menghadap Sutroh Dalam Islam- - - banyak dari sebagian kaum muslimin ,masih belum mengerti akan hukum shalat menghadap sutroh, padahal di dalam agama islam telah dibahas dengan baik dan jelas hukum shalat menghadap sutroh, berikut ini kami sajikan sedikit tulisan yang membahas tentang hukum shalat menghadap sutroh. semoga bermanfaat.
Sutroh yang dimaksudkan di sini adalah penghalang atau pembatas. Pembatas di sini dipasang di depan imam atau orang yang shalat sendirian ketika shalat, berupa tongkat atau selainnya dengan tujuan untuk menghalangi orang yang akan lewat di hadapannya ketika shalat.
Menurut mayoritas ulama, jika seseorang shalat sendirian atau sebagai imam disunnahkan baginya shalat menghadap sutroh supaya dapat menghalangi orang lain yang akan lewat di hadapannya.[1]
Dalil Pendukung
Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya shalat menghadap sutroh terdapat dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap sutroh dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud no. 698). An Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Khulashoh (1/518). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Shohihul Jaami’ (651).
Perintah di sini dibawa kepada hukum sunnah dengan alasan sebagai berikut.
Pertama: Terdapat dalil pemaling dari perintah ke hukum sunnah berikut ini.
(1) Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الاِحْتِلاَمَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُصَلِّى بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَىْ بَعْضِ الصَّفِّ وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ ، فَدَخَلْتُ فِى الصَّفِّ ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَىَّ
“Aku pernah datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di Mina tanpa menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada seorang pun yang menyalahkanku" (HR. Bukhari no. 76, 493 dan 861).
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud (إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ) adalah,
إِلَى غَيْر سُتْرَة قَالَهُ الشَّافِعِيّ
“Tanpa menghadap sutroh, sebagaimana dikatakan oleh Asy Syafi’i.”[2]
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hal ini dikuatkan dengan riwayat Al Bazzar dengan lafazh,
وَالنَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْمَكْتُوبَة لَيْسَ لِشَيْءٍ يَسْتُرهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat wajib dan di hadapannya tidak ada sesuatu sebagai sutroh.”[3]
Mengenai hadits di atas, Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan,
أن الإمام يجوز أن يصلى إلى غير سُترة
“Imam boleh shalat tanpa mengahadap sutroh.”[4]
(2) Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَىْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasi dirinya agar tidak dilewati orang dan apabila ada yang tetap nekad melewati di hadapan ia shalat, maka hendaklah ia menolak/menghalanginya" (HR. Bukhari no. 509 dan Muslim no. 505)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa kutipan hadits “Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasi dirinya agar tidak dilewati orang”, menunjukkan bahwa orang yang shalat kadang menghadap sutroh dan kadang pula tidak menghadapnya. Konteks kalimat semacam ini tidaklah menunjukkan bahwa setiap orang pasti shalat menghadap sutroh. Yang tepat, konteks kalimat ini menunjukkan bahwa sebagian orang ada yang shalat menghadap sutroh dan sebagian lainnya tidak menghadapnya.[5]
(3) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى فِى فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَىْءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang dan di hadapannya tidak terdapat sesuatu pun.” (HR. Ahmad 1/224). Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (2/66) mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Al Hajjaj bin ‘Arthoh dan ia adalah perowi yang dho’if. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrijnya terhadap Musnad Ahmad (1/224), mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi. Syaikh Ahmad Syakir dalam takhrij beliau terhadap Musnad Ahmad (3/297) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa hadits di atas terdapat kalimat (شَىْءٌ), yang ini menunjukkan umum, artinya beliau tidak menghadap apa pun. Walaupun hadits ini mendapat kritikan, namun cukup dua hadits sebelumnya (dari Abu Sa’id dan Ibnu ‘Abbas) sudah sebagai penguat.[6]
Kedua: Para ulama berijma’ bahwa sutroh tidaklah wajib.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata,
وَلَا نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلَافًا
“Kami tidak mengetahui ada perselisihan pendapat tentang disunnahkannya hal ini (shalat menghadap sutrah, pen).”[7]
Ibnu Rusyd rahimahullah berkata,
واتفق العلماء بأجمعهم على استحباب السترة بين المصلي والقبلة إذا صلى ، مفرداً كان أو إماماً
“Para ulama telah sepakat dengan ijma’ mereka tentang disunnahkannya sutroh (yang diletakkan) antara orang yang shalat dan kiblat sewaktu shalat, baik shalat sendiri atau sebagai imam.”[8]
Yang menukil adanya ijma’ dari ulama belakangan adalah seperti Syaikh ‘Albassam dalam Taudhihul Ahkam[9].
Ketiga: Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin beralasan bahwa hukum memasang sutroh adalah sunnah karena hukum asalnya adalah baroatudz dzimmah. Artinya, asalnya seseorang itu terlepas dari kewajiban sampai ada dalil tegas yang menyatakan wajib.[10]
Keempat: Hadits tentang orang yang berjalan di hadapan orang yang sedang shalat,
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَىِ الْمُصَلِّى مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandianya orang yang berjalan di hadapan orang yang sedang shalat itu mengetahui apa yang akan menimpanya, niscaya ia lebih memilih diam selama 40 (tahun) itu lebih baik baginya daripada ia berjalan di hadapan orang tadi.” (HR. Bukhari no. 510 dan Muslim no. 507). Ada ulama yang menjelaskan bahwa hadits ini dikatakan berdosa bagi orang yang melewati saja. Seandainya memasang sutroh itu wajib, tentu orang yang mengerjakan shalat—apalagi ia tidak memasang sutroh di hadapannya—akan ikut berdosa. [11]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Sutroh sesungguhnya hanya penyempurna shalat dan tidak mempengaruhi kesahan shalat. Ia pun bukan bagian dari rukun dan bukan pula syarat shalat sehingga dapat merusak shalat. Yang tepat, sutroh hanyalah penyempurna shalat sehingga ia bukanlah suatu yang wajib. Dalil pemaling dari perintah menjadi sunnah akan kami sebutkan berikut ini ...”.[12] Dalil pemaling yang beliau maksudkan telah kami sebutkan sebelumnya.
Dalil lain dari ulama yang menyatakan bahwa hukum memasang sutroh adalah sunnah namun dalilnya adalah lemah (dho’if), sebagai berikut:
Dari Al Fadhl bin ‘Abbas, ia berkata,
أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ فِى بَادِيَةٍ لَنَا وَمَعَهُ عَبَّاسٌ فَصَلَّى فِى صَحْرَاءَ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ سُتْرَةٌ
“Kami mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kami berada di gurun. Tatkala itu beliau bersama ‘Abbas. Beliau shalat di gurun di mana tidak ada di depan beliau sutroh” (HR. Abu Daud no. 718). Hadits ini diperselisihkan tentang keshahihannya. Al Khottobi dalam Ma’alimus Sunan (1/165) mengatakan bahwa sanad hadits ini mengalami kritikan. ‘Abdul Haq Al Isbiliy dalam Al Ahkam Asy Syar’iyyah Al Kubro (2/162) mengatakan bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah. Al Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (2/137) mengatakan bahwa di dalam sanadnya terdapa Majalid bin Sa’id yang dapat kritikan. Syaikh Al Albani dalam Dho’if Abu Daud (718) mengatakan bahwa hadits ini dho’if. An Nawawi dalam Al Majmu’ (3/250) dan Al ‘Iroqi dalam Thorh At Tatsrib (2/389) mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
Dari Katsir bin Katsir bin Al Muthallib bin Abi Widaa’ah, dari sebagian keluarganya, dari kakeknya, ia berkata,
أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِمَّا يَلِى بَابَ بَنِى سَهْمٍ وَالنَّاسُ يَمُرُّونَ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا سُتْرَةٌ.
“Ia pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di tempat setelah pintu Bani Sahm. Orang-orang lewat di depan beliau, sementara tidak ada sutrah antara keduanya (Nabi dengan Ka’bah).” (HR. Abu Daud no. 2016). Asy Syaukani dalam Nailul Author (3/9) mengatakan bahwa dalam sanadnya terdapat perowi yang majhul. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
Alasan Ulama yang Mewajibkan Sutroh
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum memasang sutroh adalah wajib karena adanya perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal itu. Di antara dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al Khudri yang kami sebutkan di awal tulisan,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap ke sutrah dan mendekatlah padanya”. Mereka pun menyanggah berbagai argumen hadits dari ulama yang berpendapat bahwa hukum memasang sutroh adalah sunnah.
Alasan pertama: Mengenai hadits,
يُصلِّي في فضاء إلى غير شيء
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang dan di hadapannya tidak terdapat sesuatu pun”, dikatakan sebagai hadits dho’if.
Alasan kedua: Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas,
إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menghadap dinding”, menunjukkan bahwa belum tentu beliau tidak menghadap sutroh yang lainnya.
Alasan ketiga: Mengenai hadits Abu Sa’id bahwa boleh jadi orang menghadap sutroh atau pun tidak, maka sanggahannya adalah dari hadits lainnya menunjukkan bahwa ada perintah menghadap sutroh.
Setelah menyebutkan alasan dari pihak ulama yang mewajibkan sutroh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan, “Berbagai alasan yang dikemukakan oleh ulama yang menyatakan hukum memasang sutroh adalah sunnah dan mereka yang menyuarakan demikian adalah mayoritas ulama dinilai lebih kuat dan lebih rojih. Jika tidak demikian, maka kita kembalikan ke hukum asal sesuatu adalah baroatudz dzimmah yaitu terlepas dari kewajiban. Tidak boleh dihukumi wajib sampai ada dalil yang jelas dan memuaskan.”[13]
Ditambah lagi ada klaim ijma’ dari Ibnu Rusyd dan Ibnu Qudamah yang menyatakan hukum sutroh adalah sunnah (bukan wajib). Yang ini tentu saja tidak boleh kita abaikan. Jika memang klaim ijma’ ini benar, maka tentu saja pendapat ulama setelah adanya ijma’ ini yang meragukan.
Satu kritikan lagi, dalam hadits Ibnu Abbas,
إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
“(Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat) tanpa menghadap dinding”. Ulama yang mewajibkan sutroh mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan, “belum tentu beliau tidak menghadap sutroh yang lainnya.”
Sanggahannya: Apakah penafsiran (ulama yang mewajibkan sutroh) seperti ini berasal dari salaf ataukah hanya pendapat ulama belakangan (mutaakhirin)? Ulama salaf semacam Imam Asy Syafii jelas menafsirkan jidar dalam hadits tersebut dengan “sutroh”. Adakah ulama salaf (sebelum Imam Syafi’i) yang menafsirkan jidar dengan tembok seperti ulama yang mewajibkan sutroh pahami? Jika tidak, maka patut dipertanyakan penafsiran semacam itu dari ulama yang mewajibkan.
Para Ulama yang Menyatakan Hukum Menghadap Sutroh adalah Sunnah
Salah seorang ulama Hambali, Al Bahuti berkata, “Menghadap sutroh tidaklah wajib dengan alasan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang dan ketika itu sama sekali tidak ada sesuatu di hadapannya”.”
Demikian pula ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam pendapat mereka yang masyhur, hukum sutroh adalah sunnah bagi imam dan bagi orang yang shalat sendirian. Mereka berpendapat bahwa hal ini disunnahkan bagi mereka yang khawatir akan ada orang yang lewat di hadapannya. Jika tidak khawatir demikian, maka tidak disunnahkan memasang sutroh.
Dinukil dari Imam Malik bahwa beliau memerintahkan memasang sutroh secara mutlak. Seperti ini pula yang menjadi pendapat Ibnu Habib dan dipilih pula oleh Al Lakhmi.
Adapun ulama Syafi’iyah, mereka secara mutlak menyatakan bahwa hukum memasang sutrah adalah sunnah dan sama sekali tidak memberikan qoid (syarat tambahan).
Ulama Hambali berpendapat bahwa disunnahkan memasang sutroh bagi imam dan orang yang shalat sendirian meskipun ketika itu tidak khawatir ada orang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat.
Adapun makmum tidak disunnahkan memasang sutroh, sebagaimana hal ini disepakati oleh para ulama. Karena sutroh imam juga menjadi sutroh bagi makmum di belakangnya atau imam menjadi sutroh bagi makmum.[15]
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُصَلِّي أَنْ يُصَلِّيَ إلَى سُتْرَةٍ ... وَلَا نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلَافًا
“Disunnahkan bagi orang yang sedang shalat untuk shalat menghadap sutroh. ... Kami tidak mengetahui ada perselisihan pendapat tentang disunnahkannya hal ini.”[16]
Sayid Sabiq rahimahullah mengatakan,
يستحب للمصلي أن يجعل بين يديه سترة تمنع المرور أمامه وتكف بصره عما وراءها
“Disunnahkan bagi orang yang shalat untuk meletakkan sutroh di hadapannya supaya menghalangi orang yang akan lewat dan agar pandangan tidak melihat ke arah lain.”[17]
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ mengatakan,
لم يعرف عنهم أنهم كانوا ينصبون أمامهم ألواحا من الخشب لتكون سترة في الصلاة بالمسجد، بل كانوا يصلون إلى جدار المسجد وسواريه، فينبغي عدم التكلف في ذلك، فالشريعة سمحة، ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه، ولأن الأمر بالسترة للاستحباب لا للوجوب
“Tidak dikenal di kalangan para sahabat bahwa mereka meletakkan di hadapannya kayu untuk dijadikan sutrah ketika shalat di masjid. Bahkan yang diketahui, mereka shalat menghadap tembok dan tiang. Oleh karena itu, tidak perlu menyusah-nyusahkan diri dalam hal ini. Syari’at islam sungguh memberikan berbagai kelapangan. Tidaklah seseorang memberat-beratkan diri dalam beragama melainkan ia akan dikalahkan oleh dirinya sendiri. Perlu diketahui bahwa perintah untuk menghadap sutroh hanyalah sunnah, bukan wajib.”[18]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah berkata,
الصلاة إلى سترة سنة مؤكدة وليست واجبة فإن لم يجد شيئا منصوبا أجزأه الخط
“Shalat menghadap sutroh adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan) dan bukanlah wajib. Jika tidak mendapatkan sesuatu yang tegak sebagai sutroh, diperbolehkan menjadikan garis sebagai sutroh.”[19]
Tinggi Sutroh
Yang dijadikan sutroh bisa tembok, pohon atau tiang.[20] Boleh pula orang di hadapannya dijadikan sebagai sutroh.[21]
Lalu berapakah tinggi minimal sutroh?
Imam Ahmad ditanya mengenai tinggi pelana yang dijadikan patokan sebagai tinggi sutroh. Beliau menjawab, “Satu hasta.” Demikian pula ‘Atho’ mengatakan bahwa tingginya satu hasta. Hal ini juga dikatakan oleh Ats Tsauri dan Ash-habur ro’yi. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, tingginya seukuran satu hasta. Demikian pula pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah menjelaskan bahwa sebenarnya ukuran tadi adalah ukuran pendekatan dan bukan ukuran pastinya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dengan tinggi pelana. Padahal tinggi pelana itu macam-macam, ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada pula yang tingginya satu hasta, bahkan ada pula yang kurang dari satu hasta. Jadi jika mendekati satu hasta, itu sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai sutroh. Wallahu a’lam.[22]
Jarak Sutroh
Bagi orang yang memasang sutroh, hendaklah ia mendekatinya, jangan posisi ia berdiri terlalu jauh dari sutroh. Karena semakin dekat pada sutroh, maka akan semakin orang akan sulit lewat di hadapannya. Jarak yang bagus antara orang yang shalat dan sutroh adalah tiga hasta atau kurang dari itu.[23]
Sutroh Berupa Garis?
Menurut mayoritas ulama yaitu ulama Syafi’iyah, Hambali dan pendapat rojih menurut ulama Hanafiyah yang belakangan bahwa jika shalat tidak mendapat sutroh yang berdiri tegak, bisa menjadikan garis di hadapannya sebagai sutroh.
Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah mengqiyaskan garis dengan sajdah yang terbentang. Ath Thohthowi mengatakan bahwa ini adalah qiyas yang amat bagus karena tempat shalat (sajdah) tentu lebih terlihat daripada garis.
Ulama Syafi’iyah lebih menyukai jika yang dijadikan sutroh adalah tempat shalat (sajdah) daripada garis karena sajdah tentu saja lebih terlihat orang.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tidak sah menggunakan sutroh berupa garis di lantai. Pendapat ini menjadi pendapat ulama Hanafiyah yang terdahulu. Alasannya kenapa tidak sah, karena garis tidak nampak sebagai sutroh dari arah jauh.[24]
Adapun dalil yang jadi pegangan sutroh berupa garis adalah hadits Abu Hurairah,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah meletakkan sesuatu di depannya, jika tidak mendapatkan sesuatu hendaklah menancapkan tongkat, dan jika tidak mendapatkan hendaklah membuat garis. Setelah itu tidak akan membahayakannya apa-apa yang melintas di depannya.” (HR. Ibnu Majah no. 943 dan Ahmad 2/249).
An Nawawi dalam Al Khulashoh (1/520) mengatakan bahwa hadits ini dho’if. Syaikh Ahmad Syakir dalam takhrijnya terhadap Musnad Ahmad (13/124) mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if. Begitu pula hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dho’iful Jaami’ (569). Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini hasan. Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini, begitu pula Imam Ahmad, Ibnul Madini dan Ad Daruquthni. Al Baihaqi mengatakan bahwa tidak mengapa beramal dengan hadits tersebut.[25] Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menshahihkan hadits ini dalam Majmu’ Fatawanya (11/101). Syaikh Albassam menyatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam (2/76).
Jika memang hadits di atas dho’if, maka tidak bisa dijadikan hujjah untuk sutroh berupa garis. Jika hadits tersebut shahih, maka boleh menggunakan sutroh berupa garis sebagaimana pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh Albassam.
(*) Perlu diperhatikan bahwa selagi masih ada sutroh yang lain, maka jangan dulu beralih pada sutroh berupa garis. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ada urutan (prioritas) dalam menggunakan sutroh. Urutannya mulai dari dinding atau tiang, kemudian tongkat, kemudian sajdah, lalu terakhir garis. Jika masih ada sutroh sebelumnya, lalu yang dipilih sajdah atau garis, maka tidak mendapatkan keutamaan menggunakan sutroh.[26] Kebanyakan praktek kaum muslimin yang ada, mereka lebih memilih sutroh berupa sajdah atau garis daripada mencari tembok atau tiang sebagai sutroh padahal begitu dekat. Sungguh amat disayangkan, mereka luput dari sunnah yang lebih utama. Wallahu a’lam.
Penutup
Intinya, sutroh amat besar sekali hikmahnya. Menghadap sutroh akan membuat shalat lebih khusyu’ karena orang akan sulit lewat lewat di hadapannya dan pandangan orang yang shalat pun terbatas. Bahkan keutamaan yang lebih besar dari itu semua adalah menghadap sutroh termasuk mengikuti sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hikmah yang terakhir ini tentu lebih utama dari yang lainnya.
Catatan yang patut diingat, janganlah menjadikan masalah sutroh ini sebagai masalah manhaj. Jangan ada yang punya anggapan bahwa orang yang shalat tidak menghadap sutroh atau menghadap garis saja, maka ia bukanlah Ahlus Sunnah. Ingat, pendapat bahwa hukum menghadap sutroh adalah sunnah merupakan pendapat para ulama madzhab, yang jadi pendapat kebanyakan ulama sejak masa silam dan saat ini. Jika demikian, tidak sepantasnya mencela orang lain yang memang lebih memilih pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Semoga jadi renungan berharga.
Demikian sajian yang dapat kami torehkan sebatas pengetahuan kami. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Written by: Muhammad Abduh Tuasikal
Dipublikasi ulang oleh: Informasi Dunia Islam Terbaru
[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Wizarotul Awqof wasy Syu’un Al Islamiyah, 24/177.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 1/171.
[3] Idem.
[4] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 1/160.
[5] Asy Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, 1422 H, 3/276
[6] Asy Syarhul Mumthi’, 3/277.
[7] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Dar ‘Alam Al Kutub, cetakan ketiga, 1417 H, 3/80.
[8] Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al Maliki, Mawqi’ Ya’sub (nomor halaman sesuai cetakan), 1/94.
[9] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom Bulughul Marom, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Albassam, Maktabah Al Asadi, cetakan kelima, 1423, 2/58.
[10] Lihat Asy Syarhul Mumthi’ 3/277.
[11] Silakan lihat di sini: http://quran.maktoob.com/vb/quran2102/
[12] Asy Syarhul Mumthi’, 3/276
[13] Asy Syarhul Mumthi’, 3/277.
[14] Faedah dari beberapa pelajaran Ushul Fiqh.
[15] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/177-178.
[16] Al Mughni, 3/80.
[17] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Al Fathul Lil ‘Alam Al ‘Arobi, 1/182
[18] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan pertama dari fatwa no. 2613, 7/76.
[19] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Ar Riasah Al ‘Amah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 11/196.
[20] Hal ini disepakati oleh para ulama. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/178.
[21] Sebagaimana pendapat mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah). Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/178-179.
[22] Lihat Al Mughni, 3/82-83.
[23] Lihat Al Mughni, 3/84.
[24] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/180-181.
[25] Lihat Taudhihul Ahkam, 2/76.
[26] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/180-181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar